Akhirnya nonton jugaaa...! Setelah was-was berhari-hari, takut filmnya keburu turun, soalnya sudah 3 pekan di layar perak bioskop Indonesia. Tapi tidak main-main nih film, dalam waktu 3 pekan tayang di bioskop, rekor penontonnya sebentar lagi menyalip 'Cinta Brontosaurus'. Penontonnya -dalam 3 pekan ini- mencapai angka 800.000 penonton dan masih terus bergerak naik.
Sumber gambar: official movie trailer |
Berbeda dengan bukunya? Well.. itu tak mengapa, aku masih sangat bisa menikmati filmnya. Diawali dengan narasi yang terasa cukup panjang di awal film ini, kunikmati momen demi momen di layar, untuk mencari kerlip 99 cahaya di film ini. Tapi ada beberapa hal kecil yang jadinya terasa sedikit mengganggu. Ada beberapa detil yang kurasa tak tergarap dengan cukup baik.
Beberapa scene Rangga, misalnya, yang dalam film diceritakan sebagai sekuens yang terjadi secara berurutan. Pada saat diskusi dengan prof. Reindhart, dia mengenakan kemeja kotak-kotak biru dan tas selempang yang kurus, tidak membawa apa-apa lagi. Tapi pada adegan pulang bersama Khan, perhatikan kemeja kotak-kotaknya. Motifnya beda ;) Dilanjut dengan scene selanjutnya ketika dia berdiri di stasiun kereta, kemeja kotak-kotaknya ganti lagi, seperti yang dikenakannya ketika bertemu Prof. Reindhart, dilengkapi dengan jaket tipis yang dipakainya ketika bersama Khan.
Perhatikan corak kotak kemeja yang dikenakan Rangga. |
Satu detil lainnya yang membuat moment itu menjadi janggal adalah ketika Rangga membaca Al Quran di perpustakaan. Bacaannya bagus, makhrajnya terasa pas, dengan irama lantunan yang indah. Syahdu. Jika Anda bukan seorang muslim, tak ada yang aneh dengan itu. Tapi bagi muslim, coba cek pendengaran dan penglihatan Anda. Ketika Rangga membalik halaman quran dan melanjutkan membaca, lho??? Bacaannya kok nggak sesuai dengan tulisan di mushaf Al Quran?
Satu lagi sajalah Scene yang ingin ku-highlight kritisi di film ini, yaitu saat Hanum dan Rangga usai bertemu dengan Marion Latimer. Terlihatkah adanya sedikit kejanggalan di situ? Saat itu Hanum dititipi oleh Marion selembar surat dan satu pak bungkusan untuk Fatma dan Ayse. Di acara jalan-jalan itu Hanum tidak membawa tas besar, hanya tas selempang kecil saja, yang sangat mungkin dompetku tak akan muat di dalamnya. Jadi ditentenglah bungkusan itu. Tapi di menara Eiffel, saat mereka meneropong keindahan kota Paris dari ketinggian menara Eiffel hingga Rangga mengumandangkan adzan di sana, di manakah gerangan bungkusan itu adanya? Rangga tak pegang, Hanum pun tidak. Jangan katakan bahwa crew film yang mengamankan bungkusan itu :p
Tapi lepas dari detil-detil kecil itu -yang sangat bisa diminimalisasi di 99 Cahaya bagian 2 nanti- film ini cantik. Menyaksikan buku yang bertransformasi menjadi rangkaian gambar bergerak, mari berusaha menetralkan perasaan. Nikmati dulu film ini sebagai film, bukan buku yang 'berubah wujud'. Beberapa perbedaan antara buku dan film terlihat cukup kentara, misalnya usia Ayse atau peran Marion. Untuk yang sudah membaca bukunya terlebih dahulu, perbedaan ini tentu terasa sedikit 'mengganjal'. Tapi baik untuk yang sudah maupun belum membaca bukunya, film ini tetap membawa pesan keindahannya tersendiri, menguak satu demi satu keindahan cahaya dari benua biru Eropa itu.
Keindahan ragam bangunan bergaya khas Eropa, sungguh menginspirasi, membuat ngiler untuk tidak kalah bermimpi tinggi, untuk suatu saat bisa melihat dengan mata kepala sendiri, merabai dinding gedung-gedung yang menyimpan jejak sejarah itu dengan jemari sendiri. Busana para pemain wanita tak kalah cantik dan fashionable. Jaket panjang bermotif kotak hijau muda yang dikenakan Fatma, terlihat jelas merupakan karya penjahit bermutu. Jaket merah Hanum terlihat sangat iconic. Sedangkan coat biru yang dikenakan Marion di pertemuan terakhir mereka pun terlihat cantik sekali. Anggun dan chic.
Para pemain yang terlibat di film ini sudah familiar wara-wiri di layar kaca. Mereka adalah aktor dan aktris terpilih. Itu tidak diragukan. Banyak gambar-gambar close up mereka di film ini, tapi kurasa. tidak berlebihan, dan memang tampak indah di layar. Thanks to Wardah yang jadi salah satu sponsor ;) Okelah, di beberapa bagian film ini, produk Wardah mesti muncul, dan kurasa kemunculannya cukup wajar tanpa terlihat dipaksakan. Selain itu, semua aktor dan aktris juga didandani dengan produk Wardah kan...? Yang terlihat (lagi-lagi) agak janggal adalah dandanan teman-teman Fatma di rumahnya. Umm...rasanya dandanannya agak terlalu tebal untuk ukuran acara kumpul-kumpul bersama teman. Wardah bisa kan mendandani dengan efek natural? Tak akan susah rasanya. Toh sebetulnya tanpa make-up pun, para cameo ini, mbak Dian Pelangi dan mbak Hanum Rais sendiri, sudah cantik-cantik kok.
Boleh cek, misalnya adegan Hanum di apartemen mereka. Dalam beberapa kesempatan, Acha Septriasa yang berperan sebagai Hanum terlihat polos tanpa eyeliner atau lipstick, tapi tentu saja tetap cantik terlihat di layar. Yang muncul di layar itu adalah kekuatan akting, karena film ini bukan sekedar jualan tampang. Ekspresi Acha beberapa kali terlihat sangat original, terutama saat terkait dengan kerudung yang belum dikenakannya. "Kenapa sih kamu ngelihatin aku kayak gitu?" seperti yang diucapkannya pada pemeran Rangga di salah satu scene. Saltingnya, groginya, terlihat. Acha pinter deh aktingnya. Sebagai seorang multitalent, dengan potensi yang dimilikinya sebagai aktris yang juga punya suara bagus, rasanya sayang sekali jika suara merdunya tidak ikut muncul menghiasi film ini sebagai soundtract. Kan asyik tuh kalau bisa sekalian akting dan nyanyi sepaket. Kita tunggu saja di bagian ke-2nya nanti ya. Sabar yaa, karena bagian 2 film ini baru dijadwalkan tayang di bulan Maret 2014 nanti.
Menanti bagian ke-2nya tayang di tahun depan. |
Mungkin saat ini proses shooting masih berjalan untuk mempersiapkan sekuel film ini. Sutradara Guntur Soeharjanto kurasa cukup berhasil menterjemahkan buku ini ke dalam sebuah film. Selain detil-detil kecil yang tadi sudah kukritisi, beberapa fakta kecil yang juga mengganggu semoga bisa diperbaiki di bagian ke-2 nanti. Film ini sudah sukses kok membuat penasaran penonton dan pada saat yang bersamaan, menginspirasi. Aku yakin, makin banyak muslim yang bertekad untuk menjadi agen muslim yang baik setelah menonton film ini. Misalnya belajar menahan diri untuk tidak melakukan konfrontasi terbuka pada orang yang memprovokasi kemusliman kita, seperti apa yang dilakukan Fatma terhadap 2 turis yang menghina muslim Turki melalui perlambang roti croissant yang mereka makan. Atau bersikap tenang seperti Rangga saat Steffan yang diperankan oleh Nino Fernandez berkali-kali mengajaknya berdiskusi (diskusi atau ngajak kelahi sih...? :p) tentang konsep keimanan dan ketuhanan. Tokoh Marion yang mungkin tak akan muncul lagi di sekuel film ini sudah membuka jalan menuju rahasia Islam masa silam melalui artefak yang terserak tersebar di keluasan benua biru itu. Membuatku makin yakin dan cinta dengan agama yang kuanut saat ini. Makin memantapkan hati untuk ikut serta jadi agen muslim yang baik, melalui tindakan-tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten.
Aku yakin, Hanum dan segenap tim produksi film ini akan makin aware pada detil-detil kecil untuk tetap menginspirasi penonton, misalnya dengan menangkap momen para aktor dan aktris di film ini yang makan dan minum dengan tangan kanan, tak lupa sambil duduk tentunya. Kunantikan juga kisah-kisah cahaya lain dari Eropa yang membuat bangga kita sebagai umat Islam, tidak hanya bangga dengan kejayaan Islam di masa silam, tapi juga menyemangati dan menginspirasi untuk selalu jadi agen muslim yang baik di masa kini dan masa depan. Keep inspiring, will you.